Welcom To My Blog

Senin, 13 Agustus 2012

Sarung Kakek


Siang itu , panas terik matahari menyilaukan kulit Ikhsan yang sedang duduk termangu di pinggir jalan, tempat ia menjajakan dagangannya, yang kumuh dan kotor. Usia Ikhsan masih 12 tahun, tapi dia sudah bekerja menjadi tukang koran selepas pulang sekolah. Semua itu ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ikhsan hanya tinggal bersama kakeknya di sebuah gubug kecil, orang tuanya telah meninggal  5 tahun yang lalu karena musibah yang menimpa di desanya. Begitu pula dengan saudara-saudara Ikhsan yang lainnya.
Saat itu Ikhsan sedang memikirkan sesuatu. Ia memikirkan sarung yang dipake kakek selepas sholat shubuh tadi robek. Ia sangat sedih , karena sarung itu satu-satunya milik kakek . sarung itu dibeli kakek saat lebaran 3 tahun yang lalu.
“gimana ya caranya? , agar aku bisa membelikan sarung baru untuk kakek, sedangkan uang hasil dagang saja masih kurang untuk makan sehari-hari, belum lagi untuk bayar biaya sekolahku.” Kata Ikhsan dalam hati sedih.
            Saat asyik melamun, tiba-tiba ..........
“Ikhsan !!! Ikhsan !!!” teriak kakek dari sebrang jalan.
“mmm... iya kek ?” jawab Ikhsan.
“pulang !! sebentar lagi ashar !” sahut kakek.
“iya kek, Ikhsan pulang”
             Tak lama saat Ikhsan dan kakek sampai di rumah adzan ashar pun berkumandang.
“yuk kita sholat!”
“iya kek, Ikhsan ambil wudhu dulu ya kek !”
            Setelah berwudhu, Ikhsan mendekati kakek.
“yuk kek, Ikhsan sudah siap!”
“yuk kita langsung ke masjid! Mumpung belum iqomah!” balas kakek
            Tapi Ikhsan malah diam dan melihat sarung yang dipake kakek.
“ kenapa Ikhsan?” tanya kakek.
“sarung kakek ........” jawab Ikhsan
“mmmm... oh iya sarung kakek robek tadi shubuh, tapi tak apa masih bisa dipake.” kata kakek dengan lembut dan penuh rasa bersyukur. “sudah mari ke mesjid.”
            Setelah sholat , Ikhsan berdoa kepada Allah SWT, ia ingin sekali membelikan sarung baru untuk kakek.  Saat sedang khusyuk berdo’a , kakek mengajak Ikhsan pulang.  Sesampainya di rumah Ikhsan bertadarus al-qur’an bersama kakek, sambil menunggu waktu berbuka.
            Keesokan harinya setelah pulang sekolah , Ikhsan melewati suatu toko, toko tempat menjual baju-baju. Disana ia melihat sarung yang saaaaaaaaangat.. bagus.
“Pak, sarung itu harganya berapa?” tanya Ikhsan pada penjual di toko itu.
“yang mana ,dek? Tanya penjualnya.
“itu yang warna hijau muda” kata Ikhsan (Sambil menunjuk)
“oh itu.... itu harganya Rp 45.000,00” jawab penjual.
            Ikhsan terkejut dan langsung membalik,, lalu berlari. Ia tidak menyangka harga sarungnya semahal itu. Ia sangat sedih karena niatnya untuk membelikan sarung baru untuk kakek sebelum lebaran ,akan diurungkannya begitu saja. Tapi ia tak putus asa, ia langsung berlari ke rumah, membawa koran-koran yang akan dijualnya. Dan langsung menjajakannya di pinggir jalan.
            Ketika Ikhsan menunggu pembeli, tiba-tiba datang seorang Ibu bersama anaknya.
“nak, koran yang ini berapa?” tanya si ibu.
“oh yang itu Rp 1000,00 bu.” Kata Ikhsan.
“oh... ibu beli ini satu ya. Ini uangnya.” (Menyodorkan uangnya pada Ikhsan)
“terima kasih ya , bu “
“sama-sama ,nak” kata ibu, kemudian pergi.
            “Alhamdulillah....” kata Ikhsan sambil merapikan koran-korannya. Tiba-tiba,......
“apa ini ?” tanya Ikhsan bingung. Karena ia menemukan sebuah amplop coklat yang lumayan berat dan isinya penuh. “amplop? Amplop apa ini ya? Perasaan tadi tidak ada.”
Ikhsan sangat bingung. Kemudian ia membuka bungkusan itu dannnn....astagfirullah.. dalamnya uang yang sangaaatt banyak. “ini uang siapa? Apa uang ini milik ibu yang tadi? Aku harus segera mengembalikannya!” kata Ikhsan sambil berlari mengejar Ibu-Ibu tadi.
“bu, bu, ibuuuu...!” teriak Ikhsan.
“ada apa nak? “ sahut ibu tadi.
“bu, apakah ini amplop ibu?”
“hah? Iya nak, ini punya ibu, tadi ibu mencarinya, ibu kira ibu kecopetan.”
“iya bu, amplopnya tadi ketinggalan di atas koran-koran saya.”
“aduh... terima kasih banyak ya nak, ibu tidak tahu apa jadinya kalau ibu kehilangan uang itu.”
“iya bu, sama-sama”
“ini nak, untuk kamu!” ibu itu menyodorkan uang Rp 200.000,00 kepada Ikhsan
“mmmm.... tap,tapi, saya ikhlas menolong Ibu.” Kata Ikhsan
“tak apa-apa, tolonglah terima, sebagai tanpa terima kasih ibu, karena kamu sudah mengembalikan uang ini.”
“mmm... terima kasih banyak ibu.” Kata Ikhsan sambil tersenyum gembira.
            Ikhsan sangat senang dan banyak bersyukur kepada Allah SWT, karena akhirnya ia mempunya uang untuk membeli sarung baru untuk kakek. Saat itu pun Ikhsan langsung pergi ke toko yang pernah dijumpainya. Ia membeli sarung itu. Dan segera pulang ke rumah. Di rumah Ikhsan memberikan sarung itu kepada kakek.
“kek, ini sarung baru untuk kakek!”
“sarung?” jawab kakek serak,sambil menatap Ikhsan heran.
“kakek gak usah khawatir, Ikhsan membelinya untuk kakek , dengan cara halal.” Ikhsan meyakinkan kakek, karena ia tau pasti kakek akan bersangka buruk dan menanyakan darimana ia mendapatkan uangnya.
Setelah menatap Ikhsan lama, air mata kakek keluar.
“mmm... kakek percaya, karena kamu anak yang baik, kamu anak yang sholeh.” Mendekati Ikhsan dan memeluknya.
Kakek merasa bangga pada Ikhsan, sekaligus bersyukur pada Allah SWT, karena meski miskin harta, tapi Allah menurunkan sosok cucu sholeh yang tidak miskin hati.
“kamu lebih berharga dari harta sekalipun!” kata kakek.
-lebih baik miskin harta, daripada miskin hati, lebih baik kaya hati ,daripada kaya harta-
.......................................................................................................................

Sabtu, 04 Agustus 2012

BOLA


Hari libur hanya tinggal beberapa hari lagi , tapi aku masih saja berdiam di rumah, nonton tv, baca buku, tidur dan itu..itu..ituuu lagi yang aku lakukan.
“bosan .....!” gerutuku dalam hati.
Mungkin kebanyakan orang tahu kalau aku itu jarang sekali keluar rumah , bermain dengan teman-teman dekat rumah ,bercanda atau sebagainya karena aku lebih memilih diam di rumah daripada main di luar, jadi mereka tak pernah mengajakku untuk bermain.
Tapi hari itu rasanya bosaaannn .... sekali. Jadi akhirnya aku memutuskan untuk keluar rumah ,sedikit menghirup udara kebebasan. Diluar, aku melihat Putri, Sisil , dan Meta. Mereka tampaknya gembira dengan menendang-nendang bola dan berusaha menendangnya ke gawang.
“Hai... !” sapaku
“Hai, Widya !” seru Meta.
“Sini Widya, main bola bareng kita!” Putri menambahkan.
“iya sini, kita kekurangan pemain, kamu maukan bergabung?” tambah Sisil.
“mmm... ok !” kataku sambil tersenyum gembira.
Siang itu kami bermain dengan gembira. Aku bersama Putri dan lawan kami sisil dan Meta. Meski panas terik matahari, tapi tak menyurutkan semangat kami untuk terus bermain. Meski bercucuran keringat , tapi tak membuat kami lelah. Senangnyaaaaaa.... hari itu.
Tapi tiba-tiba,,
“Widya !! cepat pulang !!” suara mama berteriak dari depan rumah.
“nanti mama ,masih seru nih !,bentar lagi !” kataku berteriak.
“ayo pulang !!!” kata mama lagi.
“iya sebentar lagi ! aku pasti pulang !” teriakku.
Tapi aku tetap mengacuhkan perintah mama dan melanjutkan bermain. Saat bermain lagi, skor untuk aku dan putri sama seperti skor untuk Meta dan Sisil, sehingga aku dan Putri terus bersemangat untuk mencetak gol sekali lagi agar lebih unggul dari mereka.
Tendangan Sisil diterima Putri dan Putri mengoverkannya padaku. “ini saatnya aku mencetak gol !” kataku dalam hati sambil menendang bola itu dengan keras dan melambuuuuunggggggg......... jauh. Tapi, bolanya tidak masuk kedalam gawang, malah terus melambung ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, dannnnn... DUG !!! BOLA ITU MENGENAI PUNGGUNG SEORANG KAKEK.
“hei , siapa yang menendang bolanya? Bisa gak sih main bola ? awas ya jangan sekali-kali lagi main bola disini !” teriak si kakek.
“mmm....saya, kek. Maaf ya ,kek” kataku dengan wajah memerah, malu, takut& sedih.
Tapii si kakek langsung pergi.
Dengan wajah kecewa, ternyata mama melihat kejadian itu. Dengan tertunduk malu, aku lari menghampiri mama.
“mama bilang cepat pulang ! kenapa malah terus bermain? Akhirnya kan jadi seperti ini? Kapok?” tanya mama lembut, tapi menusuk hati.
Aku hanya menunduk dan lari ke kamar. Di kamar ,aku menangis dan menyesali semuanya. Sekarang aku berjanji tidak akan lagi mengacuhkan perintah mama dan menuruti apa katanya.
...........................................................................................................................